Sunday, April 29, 2007

MISKIN



Nah, dimana-mana di negara yang di kategorikan sebagai dunia ketiga, yang petama menjadi perhatian pastilah kemiskinan. Kalo di Indonesia, jangan ditanya, pasti kita semua tahu bagaimana keadaan ekonomi yang walaupun menurut para ahli dan empu, kondisi ekonomi makronya telah jauh membaik sejak kejatuhan ekonomi tahun 98 namun kondisi ekonomi mikro Indonesia masih stagnan.

Walaupun nilai tukar rupiah masih membubung tinggi kurang lebih 250% dari nilai tukar sebelum krisis ekonomi, namun dari nilai suku bunga bank dan nilai indeks pasar saham dapat dilihat adanya pergerakan positif. Tapi jika lihat lebih dalam di keadaan umum masyarakat, kemiskinan masih meraja lela. Jumlah anak putus sekolah masih berada diatas rata-rata dari sebelum tahun 98 dan juga angka pengangguran baik pengangguran nyata maupun terselubung.


Kalau kita berkeliling sepanjang jalan kota-kota besar di Indonesia, dapat dipastikan bahwa banyak kita dapati anak-anak yang berkeliaran di sekitar persimpangan jalan maupun lampu merah. Tapi jangan salah, anak-anak itu bukanlah anggota pramuka yang sedang bakti sosial menjual stiker atau lainnya tapi mereka adalah anak-anak yang dikategorikan sebagai anak jalanan. Definisi anak jalanan dalam kamus besar bahasa indonesia adalah anak-anak dibawah umur 18 tahun yang tinggal dan mencari nafkah dijalanan.


Fenomena anak jalanan sekarang ini menjadi salah satu permasalahan sosial utama di masyarakat. Umum diketahui bahwa kebanyakan anak-anak yang hidup dijalanan dikarenakan masalah ekonomi. Tapi tidak dapat dikesampingkan adanya tren didalam dunia remaja sendiri untuk menjalani kehidupan dijalanan. Dari obrolan yang pernah ku lakukan dengan beberapa anak jalanan yang sempat ku kenal di Medan, sebagian dari mereka datang bukan dari keluarga tidak mampu ataupun keluarga yang tidak bahagia. Sebagian mereka datang dari keluarga ekonomi menengah keatas dan keluarga bahagia. Alasan mereka untuk tinggal dan hidup dijalanan karena ada tren diantara mereka bahwa kalau tidak pernah turun kejalan pastinya dianggap sebagai anak lemah atau anak mama dan tidak keren. Mungkin faktor ekonomi adalah faktor utama tapi faktor yang diatas itu pun tidak dapat dikesampingkan.


Anak-anak ini sangat rentan akan kekerasan fisik dan seksual. Kehidupan dijalanan bukanlah kehidupan yang menyajikan surga maupun kesenangan bagi anak-anak ini. Mungkin masih segar diingatan kita tentang kasus pelecehan seksual yang dialami anak jalanan yang tinggal di salah satu rumah singgah di wilayah Jakarta. Kasus ini melibatkan seorang pengajar relawan berkebangsaan Australia. Kasus ini hanya puncak dari gunung es kekerasan tehadap anak jalanan.


Masih banyak kasus yang tidak diketahui karena memang tidak pernah dilaporkan. Dan juga walaupun sudah ada departemen khusus di kepolisian Indonesia yang menangani kekerasan terhadap permpuan dan anak – Ruang Pelayanan Khusus (RPK) – namun umum kita ketahui bahwa kebiasaan korupsi di tubuh kepolisian kita belumlah hilang seratus persen sehingga kasus-kasus yang berhubungan dengan anak jalanan banyak yang di”peti es”kan.

Kenapa ditulisan ini aku bicara tentang anak jalanan. Mungkin karena malam ini aku melihat anak jalanan di India. Ini bukan yang pertama kali aku melihat mereka tapi ini yang pertama kali aku sempat untuk mengambil gambar mereka. Kalau kita berjalan-jalan di kota besar di India, kita akan melihat kalau bukan kondisi yang lebih parah, paling tidak sama dengan di Indonesia. Jumlah gelandang dan pengemis di India lebih banyak daripada yang terdapat di Indonesia baik dalam persentase per populasi dan jumlah. Jumlah penduduk India yang hidup dibawah garis kemiskinan di India berada dikisaran 25% dari total jumlah penduduk sedangkan Indonesia memiliki 17.8% per populasi jumlah penduduknya yang hidup dibawah garis kemiskinan (CIA World Fact Book 2006).


Permasalahannya bukan hanya terbatas karena permasalahan ekonomi. Aku sempat bertukar pikiran dengan salah seorang teman berkebangsaan India tentang kenapa angka kemiskinan di India begitu tinggi sedangkan secara ekonomi, India berada didepan paling tidak diantara negara-negara Asia. Kemiskinan di India lebih dikarenakan sistem sosial yang berlaku di masyarakatnya sendiri.


Sistem kasta yang berlaku bagi penganut Hindu yang merupakan 80% dari jumlah total populasi India menjadikan pembatas bagi sebagian dari penganut agama ini yang tergolong diluar sistem kasta atau kaum Dalit dan juga dari suku-suku yang terdapat di bagian Timur Laut India yang berbatasan dengan China dan Myanmar untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Karena adanya batasan ini, banyak dari anggota golongan-golongan ini yang berada dalam kemiskinan absolut. Perbandingan angka buta huruf antara Indonesia dan India adalah 12.1% per populasi untuk Indonesia dan 40.5% per populasi untuk India ( CIA World Fact Book 2006).
Pemerintah India telah berusaha untuk menghilangkan batasan-batasan ini dengan memberikan quota dalam penerimaan pelajar dan pegawai pemerintahan untuk mereka. Namun tetap masih banyak dari golongan Dalit dan suku-suku terbelakang – backward tribes and castes – ini yang masih tidak mendapatkan kenikmatan quota-quota ini. Lebih banyak yang menikmati quota ini adalah mereka yang berada dalam strata ekonomi menengah keatas. Walaupun pemerintah India telah berusaha menghilangkan batasan-batasan ini terutama yang berhubungan dengan sistem kasta. Tapi secara umum batasan itu tetap ada karena itu merupakan bagian dari kebudayaan yang telah berumur ribuan tahun sehingga sulit untuk dihilangkan.


Jika kita kaji lebih dalam walaupun sekilas terlihat sama, permasalahan yang menyebabkan adanya angka kemiskinan yang terdapat di India dan Indonesia termasuk tinggi sangat berbeda. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih karena tidak meratanya pembagian “kue” kemakmuran yang disebabkan tingginya angka KKN. Sedangkan India, lebih banyak disebabkan oleh sistem masyarakat yang berlaku.


Seharusnya masalah kemiskinan di Indonesia lebih gampang untuk diselesaikan jika saja pemerintah dan masyarakat umum mau berusaha lebih keras dan lebih serius untuk memberantas KKN. Paling tidak kita tak pernah menganggap kemiskinan sebagai hukuman atas dosa di kehidupan yang lalu. Kita miskin hanya karena kita tidak diperlakukan adil oleh kecurangan bukan nasib.

Read More......

Friday, April 27, 2007

EKSTRADISI

Kemarin aku lihat di berita TV kalau Indonesia akan menanda tangani perjanjian keamanan dan ekstradisi dengan Singapura dalam waktu dekat ini di Bali. Itu adalah berita yang sangat-sangat baik untuk Indionesia. Di satu pihak dalam perjanjian itu, Indonesia harus memberikan izin kepada Angkatan Bersenjata Singapura untuk menggunakan wilayah kedaulatan Indonesia sebagai tempat latihan militer Singapura dan di lain pihak dengan adanya perjanjian ekstradisi itu, Singapura wajib untuk menangkap dan mengekstradisi pelaku kriminal Indonesia yang berada di Singapura. Terutama pelaku tindak kriminal korupsi yang banyak bersembunyi di Singapura.

Mungkin untuk sebagian kritik, dengan adanya latihan militer Singapura di wilayah kedaulatan Indonesia, itu merupakan pelanggaran atasa kedaulatan Indonesia itu sendiri. Tapi harus kita ketahui bahwa bahkan sebelum adanya perjanjian ini, Angkatan Bersenjata Singapura telah menggunakan wilayah kedaulatan Indonesia sebagai tempat latihan militer dalam kegiatan latihan bersama antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura yang merupakan kegiatan tahunan. Juga Angkatan Bersenjata Diraja Malaysia, Angkatan Bersenjata Australia dan dari beberapa negara lain yang memiliki perjanjian kerjasam mliter dengan Indonesia. Jadi, perjanjian ini hanyalah perluasan dari kerjasama militer yang telah ada dalam jangka waktu lama.

Walaupun sebelumnya Kepolisian Singapura dapat menangkap pelaku kriminal di Indonesia dengan mekanisme Red Notice Interpol, tapi tindakan itu hanya sampai disitu tanpa kelanjutan karena dengan tidak adanya perjanjian ekstradisi para kriminal itu tidak dapat di kirim pulang ke wilayah kedaulatan Indonesia terkecuali untuk pelaku kejahatan kemausiaan. Sedangkan umum diketahui bahwa Singapura adalah surga untuk pelaku tindak pidana korupsi karena alasan kedekatan geografis dan tidak adanya perjanjian ekstradisi tersebut.

Di satu sisi, Singapura cukup diuntungkan dengan adanya para koruptor tersebut di wilyahnya karena dapat dipastikan bahwa mereka membawa sebagian besar hasil jarahan harta rakyat itu ke negara tempat mereka bersembunyi. Dan harta yang mereka bawa itu sedikit banyaknya memberi masukan tambahan kepada Singapura. Di sisi lain, keberadaan mereka juga sedikit banyak menyumbangkan nama jelek untuk Singapura, minimal dimata Indonesia dan beberapa kali masalah ini menjadi batu penyandung dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Indonesia selalu diposisikan sebagai salah satu negara tempat adanya kegiatan “money laundry” karena kurang ketatnya pengawasan lalu lintas uang dari dan kedalam negeri. Tapi dari kenyataan adanya pelarian pelaku pidana korupsi di Singapura, Singapura pun telah menjadi tempat pilihan untuk “money laundry” tersebut.

Sekali lagi dengan adanya kerjasama ekstradisi ini, para koruptor tersebut kehilangan salah satu surganya dan rakyat Indonesia mungkin dapat mengklaim sebagian dari uang yang dicuri dari kantongnya walaupun tidak semua. Dari pada bermimpi tentang keberadaan dana revolusi, lebih baik pemerintah dan rakyat Indonesia memfokuskan segala upaya untuk menarik kembali dana yang dilarikan ke luar negeri.

Read More......

TAMAT


Done, done, and done. Finally, setelah dua tahun selesai juga akhirnya masa pendidikan formalku. Memang hasil akhirnya, aku belum dapat tapi paling tidak kelas regulernya telah selesai semua. Masalah hasil akhir itu belakangan karena akhirnya setelah kurang lebih dua puluh tahun masa pendidikan akhirnya aku sampai di batas akhir, paling tidak untuk standardku sendiri karena sebenarnya masih ada strata diatas yang aku miliki sekarang. Ah... dua puluh tahun aku rasa cukup dulu mungkin nanti kalau kepingin jadi pelajar lagi mungkin aku sambung lagi.

Pada dasarnya selama kita hidup, kita tidak pernah berhenti untuk belajar. Yang menjadi perbedaannya adalah bagaimana kita mengambil pelajaran dari hidup itu sendiri. Bukan berarti orang yang berpendidikan formal tinggi akan menjadi “murid “ yang pintar dalam hidup dan juga sebaliknya. Saat kita bernafas, kita belajar. Saat kita berbicara kita belajar, bahkan saat sedang tertidur kita belajar. Pelajaran itu bukan hanya bisa didapat dari ruang kelas tapi pelajaran yang paling berharga adalah pelajaran yang kita dapat dari memperhatikan sekeliling lingkungan kita.

Bahkan dari seorang tukang becak kita dapat belajar. Mungkin bukan pelajaran bahasa Inggris ataupun matematika bahkan pelajaran yang muluk-muluk tentang kebijaksanaan hidup. Tapi mungkin kita belajar dari abang becak itu tentang permesinan, minimal dia pasti paham tentang mesin becak atau yang lebih praktis belajar tentang rute jalan yang bebas dari macet.

Sayangnya, banyak orang-orang yang memiliki pendidikan formal tinggi selalu mersa lebih baik dari pada mereka yang tidak memiliki pendidikan seperti mereka. Padahal jika dibandingkan dengan yang lain, ilmu yang mereka miliki tidak seberapa. Mungkin dalam satu cabang ilmu mereka saat menguasau tapi belum tentu dalam cabang ilmu yang lain. Sebagai contoh, mungkin seorang ahli energi nuklir belum tentu mampu untuk menghasilkan sebuah keranjang bambu.
Bukan juga bahwa pendidikan formal itu tidak penting tapi semua pelajaran yang kita dapat baik dari bangku sekolahan maupun dari lingkungan sekitar kita itu saling melengkapi satu sama lain. Cuma masalah aplikasi dan teori yang membedakan keduanya. Yang satu mungkin lebih mengutamakan teori sedangkan yang satu lagi hanya berisi aplikasi. Tanpa ada teori takkan ada aplikasi tapi dilain pihak, tanpa ada aplikasi, suatu teori hanya menjadi sampah yang tak ada gunanya.

Satu dalam hidup yang kita pelajari sebagai manusia. Kita lahir, kita hidup, dan pada akhirnya kita akan mati.

Read More......

Friday, April 13, 2007

ALASAN-ALASAN

Mungkin ini kali pertama aku membahas tentang keberadaan tulisan-tulisanku yang ada di blog ini. Pada awalnya, alasanku untuk mulai menulis dalam blog ini karena anjuran salah seorang teman untuk membuat tulisan tentang pengalaman-pengalamanku selama berada di India. Bahkan lebih jauh lagi dia menganjurkan agar tulisan-tulisan itu dikirimkan ke media massa karena sepertinya bakalan menarik sebagai cerita perjalanan. Saat itu, ku pikir-pikir baik juga usulnya karena selain untuk latihan menulis juga bisa menghasilkan sedikit masukan secara finansial.

Namun setelah ku pikir-pikir lagi sepertinya belum saatnya aku mulai menulis untuk umum. Mungkin ini terdengar absurd karena aku sudah mulai menulis dalam blog yang beredar di alam maya yang berarti bahwa siapa saja yang memiliki akses internet bakalan bisa membaca tulisan-tulisanku ini.

Tapi kita harus bisa membedakan antara “umum” yang pertama ku sebutkan dan “umum” dunia maya. “Umum” yang pertama adalah “umum” yang akan membaca tulisanku di media massa yang berarti “umum” dalam jumlah massal karena siapapun bakalan bisa membacanya selama kertas yang berisi tulisanku itu terpampang didepan mata “umum” ini, baik di rumah, di kantor maupun di warung-warung kopi karena tingkat aksesebilitas media massa baik itu koran, majalah atau tabloid lebih tinggi dibandingkan tingkat aksesebilitas dunia maya terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Disini aku tidak berbicara tentang media TV atau radio karena dari masalah yang sedang ku kemukakan, tulisanku, pasti lebih mengarah ke media cetak. Kecuali jika tulisanku di konversi ke media visual atau audio yang sepertinya sangat jauh dari jangkauan. Kembali ke masalah “umum”, “umum” dunia maya lebih kecil dalam jumlah dibandingkan “umum” media. Dalam artian mereka-mereka yang bakalan membaca tulisan-tulisanku di blog ini hanya orang-orang yang tahu tentang keberadaan blog ini dan dengan tambahan segelintir orang yang tanpa sengaja menemukan blog ini.

Mungkin yang ku kemukakan diatas terdengar sebagai tanda kurangnya rasa percaya diri. Bolehlah begitu kalau mau dianggap begitu. Tapi untukku pribadi ada dua alasan kenapa aku merasa belum saatnya tulisanku menjangkau “umum” yang lebih luas. Alasan yang pertama adalah karena aku merasa bahwa sampai saat ini belum ada satupun pengalamanku yang cukup menarik untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Minimal dalam pandanganku sendiri, entah mungkin orang lain yang membaca akan memiliki pendapat yang berbeda. Dalam pandanganku yang terkadang sempit dan penuh dengan penilaian-penilaian yang egois, pengalaman hidup orang bukanlah hal yang cukup menarik untuk dibaca karena pada dasarnya semua orang bakal memiliki pengalaman yang sama mungkin dengan sedikit perbedaan yang tidak cukup siknifikan untuk dikatakan menonjol dari yang dimiliki orang lain.

Dalam anggapanku, yang berhak dan pantas untuk menceritakan pengalamannya hanyalah orang-orang yang memiliki pencapaian yang mumpuni ataupun mengalami suatu pengalaman yang diluar kebiasaan. Kalau tentang pengalamanku, yah, pastilah hampir sama dengan pengalaman orang-orang yang berada di negara asing lainnya. Keterkejutan budaya, sulit mendapatkan makanan yang sesuai dengan selera lidah, melihat tempat-tempat yang berbeda, perbedaan kondisi cuaca dan sebagainya dan sebagainya. Jadi apanya yang berbeda dari pengalaman orang lain. Kalau kita mau jujur sebenarnya yang kita anggap sebagai pengalaman-pengalaman yang berbeda lebih pada usaha kita untuk menempatkan diri kita di luar jangkauan pengelompokan. Toh sebelum kita sudah berusaha membedakan diri kita dengan yang lain, sudah ada orang-orang yang lain yang berusaha keluar dari pengelompokan-pengelompokan itu dan hasilnya — mereka menciptakan kelompok baru yang memberikan hasil yang sama dari pengelompokkan yang mereka berusaha hindari. Jadi untuk apa capek-capek berusaha untuk berbeda untuk hasil yang sama.

Daripada menulis tentang pengalaman-pengalamanku yang mungkin juga telah dialami oleh yang lain, aku merasa lebih baik untuk menulis tentang pikiran-pikiran yang pastinya berbeda dari setiap orang. Pikiran adalah hal utama yang membedakan suatu individu dari individu lainnya terutama dalam kasus manusia. Bukankah manusia adalah binatang yang berpikir.

Alasan yang kedua, lebih karena masalah teknis dan alasan ini yang mungkin bisa dianggap sebagai tanda kurangnya percaya diri. Aku merasa kalau tulisanku belum cukup baik untuk diedarkan di “umum” yang besar. Secara teknis penulisan, kurasa masih banyak ku pelajari. Kenapa aku sampai memiliki pendapat seperti ini tentang tulisanku sendiri? Pendapat ini keluar lebih disebabkan semakin banyak yang ku ketahui. Semakin banyak kita mengetahui tentang sesuatu hal, kita cenderung merasa semakin kehilangan kreativitas.

Edward de Bono pernah bilang dalam bukunya kalau semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, orang itu cenderung untuk kehilang kemampuannya untuk memecahkan masalah dengan jalan yang mudah. Penyebabnya? Karena pendidikan orang tersebut. Dalam pendidikan kita dicekoki dengan tatanan-tatanan baku yang harus diikuti sehingga kita menjadi judmental akan solusi-solusi mudah. Sebagai bukti, seorang anak yang masih di bangku SD akan lebih mampu untuk memberikan solusi untuk suat masalah dalam bentuk visual dibandingkan seorang dewasa yang berpendidikan tinggi. Penyebabnya mungkin orang dewasa tersebut merasa tidak yakin bahwa gambar yang ia hasilkan tidak akan memenuhi nilai-nilai estetik yang didapat dalam masa pembelajarannya. Sedangkan anak yang menghasilkan solusi visual tidak pernah memikirkan nilai-nilai estetik yang sama.

Jadi mungkin aku juga telah terpengaruhi oleh efek dari pendidikan tinggi yang menyebabkanku kehilangan kreativitas yang mungkin ku miliki di masa kanak-kanak.

Demikianlah alasan-alasan kenapa mungkin isi blog ini takkan menarik untuk anda yang mambaca. Mungkin secara sadar maupun tidak sadar dengan mengemukan alasan-alasan tersebut, aku mencoba untuk menghindari pengelompokkan yang ku sebutkan diatas. Tapi merupakan hak setiap orang untuk memiliki keputusan atas apa yang akan dilakukannya. Jadi ini merupakan hakku sebagai seorang manusia yang berpikir untuk membuat tulisan ini dan juga hak anda yang membaca tulisan ini dan untuk menilai hasil akhirnya.

Read More......

Wednesday, April 11, 2007

DUH! MALANGNYA!

Belakangan ini aku sering dengarin lagu-lagu Slank dari kaset yang ku bawa dari rumah ataupun rekaman MP3. Ga tau kenapa mungkin karena belakangan aku sering ingat masa-masa dulu waktu di SMU. Masa-masa yang kalau menurutsalah seorang temanku penuh dengan “kenakalan-kenakalan remaja”, masa-masa waktu aku belum perlu untuk memikirkan masa depan, masa-masa saat waktuku lebih banyak habis untuk memikirkan kenikmatan-kenikmatan yang bisa diraih hari itu. Aku selalu menganggap masa di SMU adalah masa terbaik dalam hidupku.


Lagu-lagu Slank memang merupakan “lagu kebangsaan” untuk saat-saat itu. Sampai kami, aku dan “gerombolanku” saat itu menamai teras kamar salah seorang temanku, yang sekarang mungkin telah “damai” di alam seberang sana, dengan nama “Gang Potlot” sesuai dengan nama markas Slank dan keseluruhan kamar itu sebagai “kamar bedah otak” karena pasti setiap hari di kamar itu kami “membedah otak” kami dengan bahan-bahan organik dan non-organik. Perasaan hidup layaknya kehidupan dalam sinetron “Anak Menteng” di ANTV dengan seragam sekolah yang hanya ditautkan dua kancing teratas, tawuran antar sekolah.

Terkadang baru sekarang aku baru paham kenapa dulu saat masih di bangku SMU, semua orang selalu memandangku dan “gerombolan”ku dengan mata sinis. Tapi pandangan ini bukan hanya tertuju kepada kami tapi juga kepada anak-anak sekolah yang seperti kami. Alasannya? Karena kami dan mereka yang seperti kami selalu menganggap dunia milik kami dan yang lain cuma orang yang ngontrak. Mungkin terdengar seperti ucapan klise yang ditujukan untuk orang yang berpacaran, “dunia milik kita berdua, dik!”. Tapi diantara ku dan “gerombolan”ku memang ada cinta, “TOUGH LOVE”. Buktinya walaupun aku mencoba untuk tidak menangis tapi tetap saja air mataku menetes saat aku mengantarkan salah seorang temanku ke liang lahat.


Yah, masa-masa itu pasti takkan kembali karena waktu berputar dan manusia berputar didalamnya “TEMPORA MURMURA, HOMO MURMURA ILLIS”. Waktu pastinya tak bisa diputar mundur kebelakang mungkin kalau Superman memang ada, dia bisa memutar putaran bumi melawan rotasinya dan waktu akan bergerak mundur. Tapi itu hanya mungkin dalam film saat Superman ingin menyelamatkan Lois Lane.


Kenapa aku jadi ingat masa lalu? Mungkin karena aku baru mendengar kabar kalau salah seorang teman kuliahku dulu akan menikah minggu ini. Memang bukan aku iri atau kepingin cepat nikah juga. Tapi karena pernikahannya semua rencanaku saat pulang nanti bisa bubar.


Saat pulang nanti ada 3 hal yang pertama ingin aku lakukan. Pertama, main bilyar sampai puas, terus makan di kedai Si Buyung didepan kampus UISU sampai kenyang, terutama peyek udangnya. Nah! Rencana yang ketiga yang sepertinya bakalan bubar, pergi kemping ke Sibolangit. Rencana yang ketiga ini yang kayaknya sulit untuk dipenuhi karena temanku yang paling berpengalaman kalau masalah alam bebas sudah kawin. Pastinya tidak mungkin istrinya mengizinkannya untuk pergi kemping!


Mungkin kalau orang lain yang berada dalam posisiku bakalan mikirin untuk mencari pekerjaan yang mapan atau sebagian lagi ingin cepat-cepat kawin karena dikejar umur. Tapi kalau untukku, aku malas mikirin hal yang rumit-rumit. Daripada memikirkan hal-hal yang dipikirkan orang lain, aku lebih suka memikirkan hal-hal yang lebih realistik dan gampang untuk diwujudkan.


Daripada memikirkan mencari pekerjaan yang belum tentu ada, aku lebih suka memikirkan untuk main bilyar sepuas-puasnya yang selama 2 tahun ini tak pernah bisa terpenuhi. Banyak yang gila karena memikirkan pekerjaan yang sulit untuk didapat dan kalaupun ada tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Aku tak pernah sekalipun memikirkan bahwa pendidikan itu akan memberikan pekerjaan. Buatku pendidikan itu lebih untuk membuka cakrawala dan pembiasaan untuk berpikir logika hingga nanti saat terjun kedunia kerja dapat orang dengan pendidikan dapat memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaannya.


Pernah salah seorang temanku di India bertanya padaku, apa rencana jangka panjangku setelah selesai dari tempat ini. Jadi ku jawab kalau aku ingin jadi petani. Dianya jadi heran karena kalau aku ingin jadi petani untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi karena pendidikanku jadi percuma. Ku jawab lagi kalau aku punya pendidikan yang tinggi dan dapat menggunakan bahasa asing, sebagai petani aku bakalan bisa lebih gampang berkomunikasi dengan konsumen hasil pertanianku yang mungkin datang dari negara lain dan dari pemahamanku tentang media yang kupelajari dari pendidikanku, aku bisa menggunakan media untuk memperkenalkan dan memasarkan hasil kebunku. Dan yang terpenting lagi aku tidak bakalan gampang untuk ditipu oleh tengkulak-tengkulak yang banyak menyengsarakan hidup petani. Jadi daripada mikirin tentang pekerjaan yang belum tentu ada dan belum tentu memuaskanku, lebih baik aku buat rencana untuk main bilyar.


Sebagian lagi dari orang-orang yang kukenal, lebih banyak memikikan untuk segera menikah karena mereka menganggap umurnya sudah terlalu tua. Tapi aku yakin alasan sebenarnya bukan karena umur tetapi lebih karena kebutuhan biologis mereka yang sudah menggebu-gebu untuk dilampiaskan. Mereka kebanyakan takut untuk melampiaskannya karena memang takut dengan amarah Tuhan dan sebagian lagi bukan karena takut akan Tuhan tapi lebih karena takut ketahuan kenalan dan malu. Sebagian lagi dan ini kelompok yang paling besar, karena memang tak punya tempat untuk melampiaskan karena berbagai alasan. Nah, bagaimana dengan aku sendiri? Kalau menikah cuma karena masalah seks, untukku tak lebih dari prostitusi. Kenapa? Karena saat nikah kita bakalan mengeluarkan uang yang tak sedikit dan juga setelah itu kita harus memberikan nafkah untuk pasangan kita. Jadi apa bedanya dengan prostitusi? Kalau kita mengeluarkan uang untuk mendapatkan seks.


Pernah salah seorang temanku mengatakan padaku, apalagi yang ku tunggu, yang lain sudah menikah dan kenpa aku tidak cepat-cepat menyusul yang lain? Ringan saja ku jawab “untuk apa kita capek-capek buat dapur, kan banyak warung yang buka dan rasanya kadang lebih enak”. Itu bukan berarti aku menghalalkan perlacuran tapi lebih sebagai jawaban ringan untuk pertanyaan yang buat sebagian yang lain berat. Sebagian orang beralasan menikah karena cinta tapi tak sedikit orang yang ku kenal dan menggunakan alasan ini dengan harapan surga tetapi malah berakhir dengan neraka. Ada memang perempuan yang bisa ku sebut dengan “calon” tapi dari yang banyak kulihat perasaan saat menjalani ikatan jangka pendek banyak berbeda dengan perasaan dalam menjalani ikatan jangka panjang. Jadi, daripada sibuk memikirkan pernikahan yang bagi sebagian orang hanya untuk memuaskan nafsunya, lebih baik aku membuat rencana untuk memuaskan nafsuku di kedai Si Buyung dengan peyek udangnya yang gurih dan bisa meneteskan air liur.


Ah... rencanaku ketiga yang malang. Nampaknya karena maslah teknis, aku harus membuat rencana cadangan yang lebih realistik dan gampang untuk diwujudkan.

Read More......

Sunday, April 08, 2007

PIALA DUNIA

Sekarang ini sedang berlangsung Piala Dunia di West Indies atau Trinidad and Tobaggo. Mungkin yang baca tulisan ini akan agak bingung karena umumnya orang tahu kalau Piala Dunia sudah berakhir tahun lalu dan Itali keluar sebagai juara dan Piala Dunia yang akan datang baru akan diadakan tahun 2010.

Tentu saja ini bukan Piala Dunia sepak bola atau Coup Du Monde bahasa kerennya tapi yang sedang berlangsung saat ini di Trinidad and Tobaggo itu Piala Dunia Cricket. Bingungkan! Mungkin untuk kita yang tinggal dan hidup di Indonesia pasti belum pernah melihat ataupun mendengar olah raga yang bernama Cricket. Sama, aku juga belum pernah lihat sebelumnya, kalau dengar nama olah raga ini memang sudah pernah.

Olah raga ini memang umumnya populer di negara-negara Commonwealth atau negara-negara bekas koloni Inggris dan sedikit negara diluar kelompok ini. India seperti layaknya negara Commonwealth, juga salah satu negara dimana Cricket sangat populer bahkan begitu populernya sudah seperti kewajiban untuk setiap warga India untuk menyukai olah raga ini. Para pemain Cricket atau Cricketer India di puja bahkan terkadang melebihi artis-artis Bollywood.

Jika Baseball menjadi “Number One Pass Time in America” maka untuk India, Cricket adalah hiburan pengisi waktu nomor satu. Kalau di Indonesia kemanapun kita pergi paling tidak pasti melihat orang yang sedang main sepak bola maka di India, kemanapun kita pergi pasti kita bisa lihat orang-orang yang sedang main Cricket. Dari dulu sampai sekarang aku belum bisa paham juga dengan peraturan olah raga ini. Kalau dalam baseball atau softball, pemainnya harus memukul bola dan melewati empat base tapi kalau dalam Cricket yang ku lihat setelah memukul bola pemainnya cuma lari mondar mandir.

Kalau ada rekor pertandingan olah raga yang paling lama untuk satu pertandingan. Mungkin pemenangnya pasti Cricket karena satu pertandingan bisa memakan waktu sampai lima hari. Bahkan setelah lima hari masih tetap bisa draw. Gila!

Mungkin kita sering dengar kerusuhan dalam pertandingan sepak bola karena ulah “hooligans” atau di Indonesia terkenal dengan “bonek”. Memang aku belum pernah dengar ada kerusuhan dalam pertandingan cricket tapi kalau demonstrasi sudah pernah dengar. Kalau kerusuhan dalam sepak bola biasanya karena pendukung kesebelasannya tidak puas atau karena sentimen antar supporter. Nah, kalau demonstrasi yang berhubungan dengan Cricket disebabkan karena siaran langsung pertandingan tim nasional India tidak disiarkan di TV, jadinya banayk yang kecewa dan demon ke pemerintah dan stasiun TV.

Ada satu lagi yang aku tidak begitu paham dengan olah raga ini. Seringnya aku mendengar kalau satu pertandingan dinamai “Test”. Nah, kalau terus-terusan tes kapan main yang benarnya?

Dulu aku pernah ngobrol tentang Cricket dengan temanku tapi semuanya pelajar asing jadi ga ada yang paham tentang Cricket. Disitu salah seorang temanku sempat bilang kalau Inggris memperkenalkan Cricket di India untuk membungkam rakyatnya atas penjajahan Inggris. Kalau rakyat India disibukkan dengan pertandingan Cricket yang bisa memakan waktu berhari-hari jadinya mereka tidak sempat untuk memikirkan untuk merdeka. Masuk diakal juga!

Kembali ke Piala Dunia Cricket yang sedang berlangsung di Trinidad and Tobaggo. Sekarang ini India sedang kecewa karena tim nasional India kalah di putaran pertama dimana seharusnya tim India merupakan salah satu tim unggulan. Salah satu berita utama di Piala Dunia ini mungkin bukan pertandingannya tapi kasus pembunuhan pelatih tim nasional Pakistan dikamar hotelnya.

Sebelum Piala Dunia ini berlangsung, salah seorang dosenku sempat bertanya padaku kalau aku tahu tentang Piala Dunia ini. Tapi aku balik bertanya memangnya ada berapa negara yang main Cricket? Dia kemudian bilang kalau negara yang bener-benar main cricket di dunia paling 6 sampai 8 negara tapi untuk Piala Dunia ada 16 negara yang akan bertanding. Kalau dibandingkan dengan Piala Dunia sepak bola pastilah sangat berbeda dimana untuk putaran final ada 32 negara yang bertanding dan yang ikut babak kualifikasi bisa ratusan negara. Oh iya, cerita tentang Piala Dunia sepak bola, mungkin jarang ada yang tahu kalau Indonesia sebenarnya pernah masuk putaran piala dunia tapi dulu tahun 1920an waktu namanya belum Indonesia tapi masih Hindia Belanda.

Kalau Piala Dunia Cricket, yah lumayanlah masih bisa disebut Piala Dunia karenja lebih dari satu negara yang ikut bertanding. Tidak seperti Baseball di Amerika. Mereka menamai putaran finalnya sebagai “World Series” tapi yang bertanding cuma klub baseball Amerika.

Read More......

Thursday, April 05, 2007

ISI PERUT

Salah satu daya tarik India bagi orang asing mungkin adalah makanan tradisionalnya. Mungkin banyak yang pernah mendengar tentang kenikmatan Nasi Biryani atau lezatnya Ayam Tikka Masala maupun enaknya Masala Dosa.

Itu juga yang pertama ku bayangkan sewaktu berangkat ke India dua tahun yang lalu. Tetapi sayangnya waktu pertama merasakan makanan India, sempat terkejut lidah juga karena walaupun salah satu hobiku makan namun sulitnya aku termasuk orang yang agak pilih-pilih kalau soal rasa. Dua hari pertama di India adalah siksaan untukku karena aku belum isa menerima rasa masakan India yang sangat kuat rasa bumbunya.

Makanan Indonesia juga memiliki rasa bumbu yang kuat tapi bedanya kalau masakan Indonesia rasa bumbunya “blend” ke rasa bahan utama maskannya tapi kalau makanan India rasa bumbunya mengalahkan rasa bahan utama. Makanan India menggunakan lebih banyak macam bumbu dibandingkan masakan Indonesia jadi terkadang rasa makanannya jadi kayak rasa “nano-nano”. Rasa makanan India itu disebabkan karena dalam hampir semua makanannya bumbunya memakai bumbu masala. Bumbu masala itu merupakan campuran dari macam-macam bumbu mulai dari jahe, kunyit, cengkeh sampai “cummin seed” ( ga tau aku apa bahasa Indonesianya). Jadi hampir semua rasa makanan India itu rasanya sama karena bumbunya hampir sama baik yang makanan vegetarian maupun non-vegetarian.

Satu-satunya makanan India yang bisa diterima perutku dengan suka rela cuma Nasi Biryani. Karena walaupun rasa bumbunya kuat tapi tak sekuat yang lain karena pada dasarnya bumbunya itu diserap sama daging yang dimasak dengan nasi. Rasa Nasi Biryani itu sedikit mirip rasa rendang ayam jadinya agak masih bisa diterima pencernaan. Bedanya mungkin cuma di rasa saffron yang cukup kuat. Bedanya juga dengan rendang yang dimasak dengan santan kelapa, Nasi Biryani dimasak dengan yoghurt jadinya agak ada rasa asam sedikit di nasi dan dagingnya. Mungkin kalau rendang yang rasanya asam pasti tidak ada yang mau makan karena pasti dianggap mulai basi.

Sama kalau mau makan dimanapun rasa masakannya berbeda dari satu restoran dengan restoran yang lainnya. Tempat favoritku kalau mau makan Nasi Biryani di Hotel Alfa yang ada di depan stasiun kereta api Secunderabad. Rasa Nasi Biryani yang ada di Hotel Alfa itu rasanya agak beda dari tempat yang lain. Rasa bumbunya lebih seimbang/balance dan daging ayam atau kambingnya lebih lembut. Tapi sayangnya ga bisa sering-sering ke sana karena agak jauh dari rumah dan juga faktor keuangan, biasalah namanya juga pelajar.

Selama di India ini rindu juga makan di warung pinggir jalan atau di Pasar kaget karena jarang ada tempat kayak itu di India. Kayaknya disini orang-orangnya ga suka lama-lama nongkrong di warung atau tempat makan ataupun mungkin karena kebijakan tempat makannya sendiri. Kalau kita makan di restoran di India, begitu pelayannya lihat kita selesai makan-minum pasti cepat-cepat tamunya disodori tagihan dan mejanya di bersihin jadi kayaknya mau ngusir. Kalau kita agak lama duduknya pasti pelayannya mondar-mandir dan ngeliatin, apalagi kalau tidak mesan lagi.

Jangan harap bisa dapat tempat makan kaki lima kayak Pasar Kaget Binjai atau Warteg Harapan karena memang ga ada disini. Kalaupun ada bukan dalam bentuk warung tapi dalam bentuk asongan. Sering uga kalau lagi duduk-duduk dipinggir Husain Sagar ada yang datang nawarin tapi aku ga pernah nyoba karena sangsi juga maslah kebersihannya. Makanannya ga tahu apa namanya tapi isinya itu kayak kacang-kacangan yang dicampur sama irisan bawang, tomat, dan daun sop terus disiram dengan semacam saos. Kalau lihat tangan yang jual jadi makin tidak selera untuk beli karena tangannya udah hitam dakian pula itu. Jadi ada rasa bumbu tambahan, bumbu tangan.

Tidak seperti di kampus UISU yang gampang cari tempat makan, kalau di kampusku yang disini agak sulit untuk cari tempat makan. Satu-satunya pilihan tempat makan cuma kantin kampus tapi rasa makanannya, jangan ditanya, yang penting ga lapar aja. Ada satu tempat makan diluar kampus yang agak dekat ke rumahku, namanya Shanghai Chinese Fast Food. Bukanya mulai jam 3 sore. Namanya memang masakan Cina tapi rasanya ya, tetap India juga karena bumbunya tetap memakai bumbu masala. Tapi lebih baik daripada rasa makanan yang di kantin kampus.

Untung juga dulu di rumah aku sering bantuin atau sekedar melihat mamakku masak jadi selama disini bisa masak sendiri. Lumayanlah agak-agak rasa Indonesia walaupun kebanyakan rasa eksperimen.

Memang kalau dibandingkan dengan masakan India, masakan Indonesia lebih nikmat. mungkin karena rasanya lebih akrab dengan lidahku. tapi ada juga dosenku yang disini pernah bilang kalau masakan India itu bentuknya bisa sepuluh tapi rasanya sama. Apalagi kalau dibandingkan dengan masakan Padang, jauh ....

Mungkin kalau ada lebih banyak restoran yang khusus masakan Indonesia di luar, masakan Indonesia bisa lebih populer dan dikenal.

Read More......

Wednesday, April 04, 2007

BENDERAKU


Sebelum aku berangkat ke India dua tahun yang lalu, aku sempat ngobrol-ngobrol dengan salah seorang manatan dosenku tentang keadaan di India karena dia juga dulu sempat belajar di India. Waktu itu aku sempat bilang ke dia kalau aku takut nanti waktu di India pikiranku gak tenang untuk belajar karena saat itu mamakku mulai sakit-sakitan. Ya, walaupun aku sadar kalau aku bukan anak yang baik tapikan tetap saja namanya anak pasti mikirin orang tuanya. Terus dia ngasi saran untuk membawa pakaian mamakku ke India jadi kalau lagi mikirin mamakku ada yang jadi pengingat. Sarannya boleh juga tapi ku pikir-pikir aneh juga masa aku bawa-bawa pakaian perempuan nanti kalau ada yang tau apa dibilang orang, malah nanti takutnya dianggap ada kelainan pula aku.

Ku pikir-pikir memang aku perlu ada bawa sesuatu yang bisa ngingatinku akan keluarga dan lingkunganku. Akhirnya ku putusin untuk bawa bendera yang ada di rumah. Kan bawa bendera lebih aman daripada bawa pakaian perempuan. Jadilah akhirnya bendera itu ikut berangkat ke India bersamaku.

Merah-putih bendera negaraku. Sekarang jadi salah satu hiasan flat yang ku tempati. Bagus juga jadi alat ngenalin Indonesia ke orang asing karena setiap teman-teman dari negara lain datang ke flat pasti nanya kalau itu bendera Indonesia dan apa arti warna yang ada di bendera itu.

Selain jadi alat pengenal bangsa ada bagusnya juga kalau aku bawa bendera itu karena di Hyderabad aku satu-satunya pelajar Indonesia yang tak seberapa jumlahnya yang bawa bendera jadi waktu kami ngadain acara makan malam Tujuh belas Agustusan ada benderanya. Tapi acaranya cuma sekali diadain karena di tahun kedua pelajar Indonesianya semakin sedikit.

Bendera yang pada awalnya ku bawa untuk jadi tanda pengingat mamakku pada akhirnya lebih banyak mengingatkanku pada negaraku. Ku rasa aku lebih menghargai statusku sebagai warga negara setelah aku berada di negara lain. Yah, seperti orang yang pacaran, rasa rindu selalu lebih kuat saat sedang berjauhan, kurasa sama juga dengan perasaanku dengan Indonesia. Tapi sayangnya tidak semua memiliki perasaan yang sama denganku. Malah salah seorang temanku jarang mau mengakui kalau dia warga negara Indonesia saat berkenalan dengan orang dari bangsa lain. Lebih sering dia mengakui sebagai warga negara Malaysia karena di malu untuk menjadi warga negara Indonesia yang miskin dan selalu bermasalah. Padahal dari yang aku tahu tentang dia, secara ekonomi dan pendidikan dia berada diatas yang lain. Yang dalam artian lain dia lebih banyak merasakan nikmatnya menjadi warga negara Indonesia dibandingkan yang lain.

Sebagian lagi berusaha untuk tidak pulang ke Indonesia setelah selesai masa belajar yang dua tahun dan berusaha untuk dapat pergi ke negara lain daripada kembali ke Indonesia. Mereka sempat juga mengajakku untuk mencari visa dan pekerjaan di negara lain karena di Indonesia sulit untuk mendapat pekerjaan yang layak dan gak enak jadi warga negara Indonesia. Memang aku juga tahu kalau sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di Indonesia tapi itu bukan mejadi sebuah alasan untuk muak menjadi bangsa Indonesia.
Aku gak nganggap pendapat mereka salah atau pendapatku yang benar dan juga sebaliknya. setiap orang punya hak untuk memiliki pendapat pribadi. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang mereka, mereka yang benar dan sebaliknya jika dilihat dari sudut pandangku, mungkin aku yang benar. Bukankah salah satu tanda akan adanya demokrasi jika ada perbedaan pendapat. Tetapi dalam anggapanku salah satu alasan kenapa Indonesia memiliki banyak masalah karena banayak orang-orang yang ada di Indonesia sendiri tidak memiliki kebanggaan diri sebagai warga negara. Jadi bagai mana orang lain akan mengahargai kita kalau kita sendiri tidak menghargai siapa kita. Selain itu dalam anggapanku, orang yang lari pastilah orang yang salah ataupun kalah. Aku yakin kalau aku tidak termasuk dalam kedua kategori itu.

Bendera yang ku bawa ke India itu sekarang kondisinya, yah gak lusuh-lusuh kali tapi penuh dengan debu. Tapi nanti waktu ku pulang pasti akan ku cuci dan ku bawa kembali ke rumah.

“... lusuhnya kain bendera dihalaman rumah kita
bukan satu alasan untuk kita tinggalkan ...”
(Iwan Fals)

Read More......