SESAT?
Dari waktu ke waktu,begitu banyak bermunculan dan berkembang aliran-aliran sektarian yang dianggap sesat oleh masyarakat baik ditopang dengan ketetapan hukum maupun tidak di Indonesia. Dari mulai Darul Arqom, Ahmadiyah, Komunitas Eden hingga yang teranyar aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dipimpin oleh Ahmad Musshadeq yang baru saja ditetapkan sebagai sesat oleh MUI.
Fenomena ini bukanlah hal yang baru dalam pejalanan sejarah Islam di Indonesia. Kisah Syech Siti Jenar yang dihukum pancung oleh para Wali Sanga di Kerajaan Demak mungkin dapat kita tarik sbagai titik awal kekuatan negara dalam menertibkan atau dengan kata yang lebih kasar menindas aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran agama utama. Namun jika ditelaah lebih dalam, apakah yang menjadi penyebab suburnya aliran-aliran sempalan ini dalam konteks Indonesia?
Dari awal kedatangan Islam di Indonesia, unsur sinkretisme agama sangat kental mempengaruhi perkembangan agama Islam. Pada masa awal, masyarakat di wilayah nusantara adalah masyarakat penganut agama Hindu dan Budha serta berbagai sistem kepercayaan lokal yang telah lebih dulu ada di tengah masyarakat. Paham monoteistik Islam sangat jauh berbeda dengan sifat politesitik Hindu/Budha serta sifat panteistik sistem kepercayaan lokal. Perbedaan ini pada masa awal penyiaran Islam di Indonesia mengalamai proses sinkronisasi dimana sebagian dari ritual ajaran lama diambil dan menjadi bagian dari ritual agama baru.
Bagi kebanyakan pemeluk agama baru, sinkretisme muatan lokal ini dalam banyak kasus menjadi hal yang utama dibandingkan dengan rukun-rukun yang seharusnya menjadi amalan utama dari agama yang dianutnya dalam hal ini Islam. Hingga saat ini, bentuk sinkretisme ini juga masih banyak dirayakan ditengah masyarakat seperti berbagai acara "grebeg", "larung", dan lain-lainnya. Kegiatan ini jika tidak dilakukan dianggap dapat membawa bencana bagi masyarakat yang mempercayainya. Bentuk praktek ini dapat dianggap sebagai bentuk sinkretisme politeistik/panteistik kedalam ajaran agama Islam karena dalam setiap prakteknya sebagian menggunakan doa-doa dalam agama Islam. Dalam perayaan ini bentuk penyearahan diri terhadap ilah-ilah yang dipuja diberikan dalam bentuk pemujaan fisik. Dan pemujaan kuburan-kuburan keramat dapat kita telaah juga sebagai salah satu bentuk sinkretisme tersebut dimana yang dianggap sebagai pemberi rahmat adalah leluhur-leluhur yang dianggap memiliki kelebihan spiritual.
Dari sisi psiko-sosiologis, menjamurnya aliran-aliran ini juga dapat disikapi sebagai terjadinya perkembngan negatif measyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan disekitar mereka. Ketidakpastian kehidupan membuat banyak dari anggota masyarakat yang mengalami keguncangan pegangan hidup dan krisis keimanan. Janji-janji akan kehidupan yang lebih baikdi dunia dan kehidupan yang akan datang yang diharapkan merupakan pencapai "taken for granted" atau datang begitu saja tanpa ada usaha-usaha untuk menggapainya. Saat janji-janji terasa semakin jauh maka para penganut agama di masyarakat mencoba mencari pegangan-pegangan lain yang sepertinya dapat memberikan jalan pintas ke tujuan akhir.
Kurangnya pemahaman menyeluruh seorang penganut agama juga merupakan salah satu faktor tumbuh kembangnya aliran-aliran sempalan ini. Pemahaman menyeluruh terhadap ajaran agama menjadi kunci penting dalam menangkal masuknya pemahaman agama yang menyimpang. Terkadang saat seseorang yang tidak memiliki cukup kemampuan dan pengetahuan mengenai ajaran suatu agama memaparkan agama tersebut, yang terjadi adalah keluarnya dalil-dalil yang menyimpang yang digunakan orang tersebut untuk memutupi kekurangannya.
Bagi penganut agama, politisasi agama juga merupakan salah satu penyebab hilangnya kepercayaan terhadap agamatersebut. Di Indonesia, sejak terbuka lebarnya pintu demokratisasi, begitu banyak tokoh dan cendikiawan agama dalam hal ini Islam, terjebak dalam praktek politisasi agama. Saat sang tokoh melakukan penyimpangan baik secara sadar maupun tidak maka yang pertama kali menjadi bahan sorotan adalah agama yang ia gunakan sebagai kendaraan. Hal ini akanmenyebabkan pemeluk agama tersebut yang masih berada di area abu-abu atau pemeluk dengan pemahaman sempit dan ditambah dengan faktor keimanan yangkurang akan menyebabkannya makin kehilangan pegangan terhadap kepercayaan dan keimanannya.
Pada banyak kasus, pengikut utama aliran-aliran ini adalah kaum muda yang ada di bangku pendidikan. Pada tingkat ini, kaum muda ini masih dalam proses pencarian jati diri. Dengan sifat kritisnya, kaum muda banyak mempertanyakan penyimpangan-penyimpangan yang mereka anggap terjadi di agama yang selama ini mereka anut dan yakini.
Dalam wawancara dengan salah satu stasiun TV nasional, Azumardi Azra seorang tokoh cendikiawan muslim Indonesia mengutarakan bahwa dibutuhkan kearifan tokoh agama dan organisasi-organisasi Islam baik yang besar maupun kecil untuk melakukan pendekatan ang mendasar terhadap umat terutama kepada kaum muda. Cara-cara konvensioanal yang digunakan selama ini dalam siar Islam dianggap tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Dibutuhkan cara-cara baru dalam siar Islam agar mampu menarik minat dan perhatian umat.
Penyelesaian-penyelesaian konfrontir terhadap aliran-aliran ini seperti yang selama ini dilakukan bukanlah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalaha ini. Umum diketahui bahwa dalam setiap paham baru pasti tumbuh unsur-unsur fanatisme. Pendekatan represif hanya akan melahirkan martir-martir baru yang dapat menjadi sumbu penyulut perlawanan. Seharusnya pendekatan dialogis dari hati ke hati lebih dikedepankan untuk menyelesaikan masalah ini. Pendekatan ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan hukum yang memberikan label sesat bagi aliran-aliran ini. Karena pendekatan ini lebih berdasarkan hukum HAM yang diterima secara universal dan Undang Undang Dasar kita juga telah menjamin hak bagi setiap warga negara untuk berserikat dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing terutama setelah penghapusan daftar agama yang diakui negara.
Peran serta masyarakat juga menjadi penting dalam melakukan pembinaan bagi pengikut aliran-aliran ini dengan mengesampingkan jalan-jalan kekerasan. Dengan catatan bahwa kata "pembinaan" dimaknai sebagai bentuk penerimaan dan pengarahan dengan jalan-jalan damai bukan dengan makna penghukuman sebagaimanamakna yang melekat kuat dengan kata tersebut selama ini.
No comments:
Post a Comment