Thursday, May 24, 2007

MASA YANG INDAH

Belakangan ini aku sering memperhatikan anak-anak yang tinggal di komplek apartment tempat aku tinggal. Satu yang menyolok dalam perhatianku adalah anak-anak ini jarang bermain diluar komplek gedung, paling jauh mereka bermain hanya didepan gerbang komplek. Saat melihat anak-anak ini aku jadi teringat dengan anak-anak yang tinggal dilingungan rumahku.

Kalau ku bandingkan dengan masa kecilku, sangat jauh perbedaan antara masaku dan masa sekarang. Dulu disekitar lingkungan tempatku tinggal masih banyak terdapaty tanah kosong dan lapangan sehingga masih banyak tempat untuk kami saat itu untuk bermain sepuas-puasnya. Tapi sekarang disekitar tempat tinggalku sudah tidak ada lagi tempat untuk anak-anak untuk bermain bebas. Paling banter mereka cuma bermain di seputar rumah dan jalanan gang yang luasnya tidak seberapa. Sekarang lingkungan tempatku tinggal sudah dipenuhi dengan bangunan beton ruko bahkan hingga kedalam gang kecil. Kalau ku perhatikan lebih teliti lagi, sudah tidak ada lagi sejengkal tanah pun yang dapat terlihat, semua permukaan tanah di gang belakang rumahku sekarang telah ditutupi dengan lapisan semen.

Sekarang ini anak-anak yang ada dilingkungan tempatku tinggal lebih banyak dihibur dengan permainan elektronik seperti Play Station, Xbox dan permainan semacamnya. Jarang ada diantara mereka mengenal permainan yang dulu sering kami sebagai anak-anak sering mainkan. Dulu waktu aku masih kecil jarang ada teman yang memiliki permainan video game seperti itu yang pada masa itu didominasi oleh Spica dan Nintendo. Bahkan untuk televisi dulu tidak banyak pilihan karena memang waktu tiu yang ada cuma TVRI dan kalau ingin melihat acara TV lain yang biasanya stasiun TV Malaysia, seringnya kami harus memanjat pagar dan mengintip melalui jendela tetangga dari etnis Cina dan biasanya pasti diusir. Cuma ada satu orang tetangga yang dari etnis Cina itu yang biasanya mengizinkan kami untuk menonton TV dirumahnya, aku tidak tahu nama aslinya karena biasanya kami memanggilnya dengan Nyonya. Bahkan seringnya dia memanggil kami dan menyuguhkan makanan kecil.

Dan setiap raya Cina atau Cap Go Meh, Nyonya itu biasanya juga mengundang kami anak-anak untuk datang bertamu kerumahnya dan satu-dua diantara kami biasanya bakalan dapat angpau. Selain Nyonya itu ada juga salah seorang tetangga dari etnis Cina yang cukup baik hati terutama terhadap kami anak-anak, kami biasa memanggilnya dangan Nenek.

Dulu begitu banyak permainan yang bisa dibilang tradisional seperti Dompu, Alep Cendong atau ditempat lain mungkin dikenal sebagai Gobak Sodor, Alep Berondok atau Petak Umpet, Kuda Tunggang, Alep Buaya, Batalion, Engklek, Hompimpa dan banyak lagi permainan anak yang lain. Dari semua permainan itu aku paling malas kalau main Kuda Tunggang karena pasti aku jarang dikasih ikut bermain oleh kawan-kawan yang lain. Alasannya karena badanku terlalu gendut. Jadinya tidak ada yang bisa memanggulku keliling, yah nasibnya anak gendut, kadang jadi bos tapi kadang cuma bisa jadi penonton!

Kuda Tunggang biasanya dimainkan oleh dua kelompok dan salah seorang anak yang tidak masuk dalam kedua kelompok akan bertugas sebagai tiang, nah tugas ini yang biasanya boleh ku mainkan. Tiang bertugas sebagai tempat tumpuan kelompok yang mendapat gilirang menjadi kuda. Kelompok yang bertugas menjadi kuda akan membentuk barisan dengan membungkuk dengan saling memeluk pinggang orang yang ada didepannya. Diujung barisan adalah tiang. Kelompok yang menjadi penunggang akan melompat keatas punggung kuda sampai semua anggota kelompok dapat berada diatas punggung kuda. Setelah semua naik kepunggung kuda, penunggang pertama akan tanding suit dengan tiang. Jika kelompok penunggang kalah tanding suit atau terjatuh dari punggung kuda karena kesalahan sendiri maka sebagai hukumannya mereka akan gantian bertugas sebagai kuda. Namun jika kelompok yang menjadi kuda tidak dapat mempertahankan formasinya atau kelompok penunggang menang dalam tanding suit maka kelompok kuda harus memanggul para penunggang sampai jarak yang ditentukan.

Selain permainan-permainan anak tersebut banyak juga mainan yang tidak harus dibeli di toko mulai dari ikan laga, karet gelang, biji pohon karet, tembak-tembakan dari pelepah daun pisang, mobil-mobilan dari kaleng dan bilah bambu bahkan tempurung kelapa bisa menjadi banyak macam mainan mulai dari engrang sampai senter lilin.

Untuk mencari biji pohon karet yang biasa kami sebut dengan ‘para’ biasanya aku bersama teman-teman akan melakukan ‘ekspedisi’ kecil-kecilan. Jarak perkebunan karet yang terdekat dari tempat sekitar kurang lebih 15 km dari tempat tinggalku didaerah Marcapada. Kalau mencari biji karet di Kuala, kami harus menyisihkan sebagian uang jajan yang tak seberapa untuk ongkos bus karena tempatnya terlalu jauh untuk ditempuh dengan mengendarai sepeda apalagi dengan berjalan kaki. Biasanya kami akan melakukan perjalanan ekspedisi itu pada akhir pekan atau hari libur sekolah. Kadang untuk menempuh jarak itu kami akan mengendarai sepeda namun lebih sering dengan berjalan kaki atau menumpang truk pengangkut galian C yang banyak lalu lalang ke arah perkebunan karet yang tak jauh dari sungai tempat truk-truk itu mengambil muatan.

Biasanya juga kami pasti membawa bekal untuk dijalan tapi biasanya aku yang kebagian tugas untuk bawa nasi karena mamakku punya kedai nasi jadi kalau masalah nasi bungkus gampang dapat. Dulu waktu kecil aku punya skopel atau tali pinggang kanvas tentara lengkap dengan velves tempat air pemberian abang sepupuku yang jadi polisi. Jadi lengkap dengan skopel, velves dan topi koboi loreng, aku jadinya seperti komandan yang memimpin pasukan kecil yang akan menyergap musuh, bukan berarti aku sok bos diantara teman-temanku yang lain namun memang badanku lebih besar dari yang lain.

Memang jarak yang dijempuh relatif jauh, namun tempat yang harus kami lalui masih asri dan indah jadinya tidak membosankan. Banyak juga sungai besar dan kecil yang kami lalui sehingga kalau badan gerah bisa berhenti untuk beristirahat dan membuka bekal dan diteruskan dengan mandi dan berenang disungai. Perjalanan melalui perladangan dan pematang sawah itu biasanya kami tempuh selama 3 hingga 4 jam karena sudah pasti lebih banyak berhentinya karena sang ‘komandan’ kecapekan membawa badannya yang besar.

Memang sebenarnya untuk mendapatkan biji karet atau ‘para’ itu tak perlu berjalan sejauh itu karena hampir di setiap sekolah dasar setiap musim ‘para’ banyak orang yang menjual diluar pagar sekolah. Namun harganya bisa sangat mahal untuk ukuran anak-anak waktu itu. Untuk ‘para’ dengan kualitas biasa harganya bisa Rp 25,- atau Doplim, yang sedang sekitar Limpol atau Rp 50,- dan yang paling bagus bisa sampai Rp 100,- hingga Rp 200,-. Mungkin untuk anak-anak zaman sekarang ini uang segitu tak ada artinya dan bahkan mungkin mereka tidak pernah memegang uang dengan pecahan sekecil Rp 25,- tapi untuk masa itu uang Doplim bisa untuk beli kerupuk atau es boks satu.

Terkadang kalau melihat anak-anak zaman sekarang, aku merasa kasian juga. Memang kayaknya anak-anak zaman sekarang terutama yang hidup diperkotaan tampak lebih bersih dan sangat terurus namun kalau diperhatikan lebih baik kebanyakan kulitnya pucat karena jarang terkena sinar matahari, beda dengan anak-anak zamanku dan yang sebelumku, walaupun dengan baju sedikit koyak dan kulit hitam terpanggang matahari namun bersinar sehat.

Banyak lagi yang bisa ku ceritakan tentang masa kecilku bersama teman-teman. Bagaimana petualangan kami ke sawah-sawah atau rawa-rawa untuk mencari ikan laga, di kejar-kejar Wak Amat tukang kebun Wak Hamid karena ketahuan mencuri kuini, asyiknya mandi dan berenang di sungai Bingai sambil membuat bola pasir untuk diadu, bagaimana takutnya lari tunggang langgang dikejar anjing Pak Aheng atau Bu Elis, bagaimana harus lari menyelamatkan diri dari kejaran Wak Fozi karena ketahuan menebangi pohon pisang dikebunnya untuk dibuat rakit, dan banyak lagi. Mungkin lain waktu akan ku ceritakan lagi petualangan-petualangan masa kecilku yang tak kalah seru dari kisah detektif-detektif cilik Enyd Blyton. Namun saat ini sampai disini dulu.

No comments: