Wednesday, May 09, 2007

UNTUNG ADA TSUNAMI



Selama aku berada di India, dalam setiap pembicaraan dengan setiap orang yang tahu aku berasal dari Indonesia pasti pertanyaan pertamanya tentang gempa dan Tsunami. Memang kejadian bencana Tsunami 26 Desember 2004 yang diluar Indonesia banyak dikenal dengan ‘Boxing Day Tsunami’, sedikit banyak dalam anggapanku seperti bencana membawa berkah atau dalam bahasanya Tante Elizabeth ‘blessing in disguise’. Mungkin sekilas seperti kurang ajar anggapanku itu tapi coba kita pikirkan lagi.




Ok ...! ribuan orang yang menjadi korban. Banyak anak menjadi yatim piatu juga orang tua kehilangan anak. Istri kehilangan suami atau sebaliknya. Banyak keluarga yang terpecah belah dan mungkin sampai sekarang belum bertemu juga. Harta benda yang lenyap dengan harga yang membubung ke langit dan sebagainya dan sebagainya.



Tapi kita sebagai orang Indonesia — bukan warga Indonesia tapi orang yang dibesarkan dan hidup dalam lingkungan budaya Indonesia — pasti paham akan filosofi ‘untung’. Dalam setiap keadaan dan kejadian, orang Indonesia selalu memandang segala hal dari segi positifnya. Ambil contoh, kalau ada kecelakaan dan sang korban menjadi cacat, orang Indonesia pasti banyak bilang “untung gak sampai meninggal” atau kalau sang korban meninggal dunia, komentarnya pasti beda, “untung meninggalnya cepat jadi gak sampai menderita. Kalau cacat, kan, kasihan keluarganya capek ngurusin.”



Nah, dari contoh itu kita bisa melihat bahwa setiap cobaan untuk orang Indonesia pasti membawa keuntungan, kalau gak ini pasti itu. Mungkin kalau diadakan survei mengenai bangsa mana yang paling memiliki sifat optimis, aku yakin 110% kalau bangsa Indonesia menduduki peringkat pertama.



Ok, balik ke soal tsunami. Segi negatifnya pastilah banyaknya korban jiwa dan harta. Mari kita lihat sisi ‘untung’nya.



Untuk Aceh. Pra-tsunami adalah masa-masa yang penuh derita bagi saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah Daerah Istimewa Aceh yang kemudian berganti nama dengan Nanggroe Atjeh Darussalam. Mulai dari masa penjajahan Belanda diikuti pemberontakan DI/TII tahun 50-60an yang dipimpin Daud Beurueh. Kemudian pemberontakan sisa-sisa pengikut Daud Beurueh yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Provinsi DI Aceh. Pemberontakan ini diikuti dengan Operasi Jaring Merah oleh militer dimulai tahun 1989 hingga 1998 dan dilegalkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan penerapan hukum perang sampai terjadinya tsunami. Jadi dari masa ke masa orang Indonesia yang tinggal di Aceh selalu hidup di medan perang dengan korban yang jauh lebih banyak daripada jumlah total korban tsunami 2004.


Sebelum bencana tsunami datang memang telah banyak dilakukan perundingan antara pemerintah RI dan perwakilan GAM, baik dilakukan didalam dan luar negeri. Telah banyak dikirim berbagai tim pemantau luar negeri untuk mengawasi berjalannya perjanjian gencatan senjata. Tapi pada akhirnya, perjanjian tinggal perjanjian. Bencana tsunami datang dan sepertinya semua pihak mengganggap itu sebagai momentum tepat untuk berdamai. Mungkin karena semua pihak menganggap Tuhan telah murka atau pihak RI takut dikecam Internasional kalau dalam kondisi bencana masih sibuk mengejar-ngejar GAM atau juga karena pihak GAM sudah kehabisan asupan logistik karena bencana. Yah, alasan yang pasti cuma Tuhan, Pemerintah RI dan GAM yang tahu. Dan untuk saat ini hasil akhir perjanjian damai ini yang paling signifikan mungkin adalah terpilihnya tokoh GAM sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NAD. Dan mungkin pasangan ini merupakan satu-satunya Gubernur-Wakil Gubernur untuk seluruh Indonesia yang bukan berasal murni dari partai peserta Pemilou nasional.



Jadi orang Indonesia yang tinggal di Aceh bisa bilang, “untung ada tsunami kalau tidak perang jalan terus”. Yang GAM bisa bilang, “untung ada tsunami, walau gak bisa merdeka minimal Gubernur ditangan”.



Tingkat nasional. Untuk tingkat nasional, ada juga ‘untung’nya. Setelah bencana tsunami, pemerintah Indonesia banyak mendapatkan bantuan berupa dana dan barang logistik. Memang, tidak semua dana yang masuk merupakan uang gratis. Sebagian berbentuk hutang lunak. Yah, paling tidak bunganya kecil dan waktu pembayarannya panjang. Dengan dana bantuan tersebut, pemerintah bisa membangun ulang wilayah yang dihancurkan tsunami. Atau dengan sebagian dana tersebut! Karena sebagian dana itu pasti dialihkan ke proyek-proyek yang lain dan juga ke ‘proyek-proyek pribadi’. Nah, itu untuk urusan finansial, jadi walaupun ada banyak yang kehilangan nyawa dan hartanya tapi banyak juga yang mendapatkan harta baru.



Untuk bapak-bapak yang terhormat, bencana tsunami juga membawa berkah karena paling tidak untuk beberapa saat mereka bisa tidur tenang. Kasus-kasus yang melanda mereka baik secara pribadi maupun institusi agak tergusur dari berita utama karena semua media sibuk dengan liputan dan laporan mengenai bencana tsunami. Walaupun cuma beberapa saat tapi itu mungkin cukup bagi mereka untuk mem-persiapkan pembelaan diri ataupun menghilangkan bukti.



Ada satu lagi ‘untung’ yang tidak cuma mengurangi permasalahan bagi pemerintah tapi juga untuk orang banyak termasuk diriku sendiri yaitu masalah pekerjaan. Dengan adanya bencana tsunami, ada begitu banyak organisasi, baik dalam dan luar negeri, benaran atau fiktif, yang mengkoordinir bantuan barang, uang, dan tenaga relawan.



Nah, dengan banyaknya organisasi-organisasi ini, banyak juga tenaga kerja yang terserap termasuk aku sendiri. Aku sempat bekerja dengan salah satu organisasi luar negeri di wilayah pulau Simeulue. Aku kurang setuju dengan istilah ‘tenaga relawan’ karena dari yang ku ketahui, tidak ada satupun dari organisasi-organisasi itu yang tidak menggaji ‘relawan’nya. Kata ‘relawan’ itu kan, mengindikasikan melakukan sesuatu dengan sukarela tanpa ada harapan atas imbalan berbentuk apapun. Dengan ada gaji berarti mendapatkan penghasilan sebagai tenaga kerja dan angka pengangguran nasional pasti berkurang karena ada ribuan orang yang bekerja untuk organisasi-organisasi tersebut.



Jadi setelah tsunami, pemerintah bisa bilang “untung ada tsunami jadi defisit anggaran tahun ini bisa sedikit tertutupi”. Para koruptor bisa bilang “untung ada tsunami, tabungan semakin gemuk”. Bapak-bapak yang terhormat bisa bilang “untung ada tsunami jadi wartawan gak banyak ngejar-ngejar dan aku bisa tidur tenang dengan istri tercinta”. Para pengangguran bisa bilang “untung ada tsunami aku dapat kerja”.



Kalau melihat judul program disalah satu stasiun TV saat itu, ‘Indonesia Menangis’, jadi agak ironis juga. Karena mungkin banyak yang menangis karena tsunami tapi pasti banyak juga yang tersenyum kalau tidak tertawa. Karena satu bencana, jadi banyak soal yang kalau tidak terpecahkan minimal bisa dikurangi.



Jika ditanya aku termasuk dalam kelompok yang mana? Yang menangis atau yang tertawa? Kalau boleh jujur mungkin aku termasuk kelompok yang tersenyum kecil karena aku tak berani untuk tersenyum lebar apalagi tertawa nanti makin dianggap kurang ajar karena bisa bilang “untung ada tsunami ....”.



Oh iya, ada satu lagi. Pernah ku baca di koran setelah tsunami bahwa diusulkan kalau kata ‘tsunami’yang berasal dari bahasa Jepang dengan arti ‘angin dewa’ diganti dengan kata ‘smong’ yang berasal dari bahasa Simeulue dengan arti denotasinya aku kurang tahu. Dan mana tahu dimasa depan kata ‘smong’ bisa menjadi sumbangan bahasa asli Indonesia ke bahasa asing sehingga bahasa Indonesia tidak cuma menyumbang kata ’amok’ yang terlalu berkonotasi negatif.



“Untung ada tsunami jadi bahasa Indonesia bisa nambah satu kosakata lagi!!!”.

2 comments:

franx said...

Di setiap bencana memang masih ada orang yang beruntung..inilah dunia kadang susah dipahami..salam kenal..sekarang masih di India kah?

EBIET said...

Yang penting kita semua bisa belajar dari bencana yang kita alami.
salam kenal juga!