Aku ingat lagi terhadap gempa yang terbesar yang pernah kurasakan seumur hidupku. 8.7 skala Richter! Bayangkan! Bukan gempa Desember 2004 tapi gempa Maret 2005 atau gampa Nias.
Kalau ku pikir-pikir lagi, gak habis pikir juga. Dari aku lahir sampai aku berumur 24, seingatku, aku hanya pernah merasakan dua kali gempa. Yang pertama saat aku duduk dibangku kelas 6 SD. Dan karena gempa yang ini aku sempat dihukum berdiri di depan kelas oleh guruku.
Ceritanya, sehari setelah gempa itu, aku sempat memicu kepanikan disekolah karena kejahilanku. Pada hari gempa, aku dan beberapa teman sempat memperhatikan kalau kebanyakan teman sekelas yang cewek pada menjerit-jerit karena takut dan kemudian semua murid dipulangkan. Kebetulan keesokan harinya kelasku akan melaksanakan ulangan dan aku belum belajar dan aku belum sempat belajar jadinya aku malas kalau ada ulangan hari itu.
Jadi aku dan beberapa teman sepakat untuk pura-pura merasakan gempa. Beberapa saat sebelum ulangan dimulai, aku dan teman sekomplotan, sekonyong-konyong lari sambil berteriak-teriak, “gempa, gempa!” dan sontak semua kelas yang mendengar ikut-ikutan lari terbirit-birit kocar kacir. Sialnya, salah seorang teman sekelasku terjatuh dan sempat terinjak-injak. Untunglah dia tidak sempat luka parah cuma shock berat sampai tak berani sekolah untuk beberapa lama. Setelah diusut-usut, ketahuan kalau dalangnya itu aku dan jadilah aku kena hukuman dari guru.
Gempa yang kedua terjadi beberapa bulan setelah itu dan aku ingat kejadiannya hari minggu karena seingatku aku tidak sekolah hari itu. Dan karena gempa itu aku sempat lari terbirit-birit telanjang bulat. Memang waktu gempa, aku lagi mandi pagi di sumur dan karena gempa itu ring sumur di rumahku jadi runtuh. Untung waktu itu masih SD jadi belum terlalu malu kalau lari-lari telanjang bulat kalau sudah lebih besar kan malu!
Itu dua gempa yang pernah kurasakan selama kurang lebih 24 tahun. Tapi dari Desember 2004 hingga Mei 2005, aku tidak tahu pasti berapa banyak gempa yang kurasakan. Yang terbesar dan tak bakalan kulupakan seumur hidup mungkin yang terjadi pada Maret 2005 mungkin dikarenakan gempa ini, aku bisa dikategorikan sebagai pengungsi.
Aku ingat kejadiannya malam sekitar jam 11 dan aku dan beberapa teman baru selesai main dam batu. Malam itu kami memang sedang mengadakan acara makan malam bersama karena memang seharusnya keesokan harinya aku dan beberapa teman akan kembali ke Medan karena kontrak kami bersama MSF-Ch telah selesai.
Jadi ceritanya kami sedang beberes karena memang acara untuk malam itu telah selesai tapi tak ada satupun yang menduga kalau kami akan mendapatkan acara tambahan. Pertama yang terasa oleh semua cuma getaran pelan. Roni teman sekantorku sempat bilang untuk tenang karena memang di Pulau Simeulue tempat ku berkerja sering terjadi gempa-gempa kecil sejak kejadian tsunami karena pulau itu merupan daratan yang terdekat dengan episentrum gempa Desember 2004. Jadi semuanya tidak begitu memperhatikan getaran itu namun getarannya semakin lama semakin keras dengan suara bergemuruh. Suara yang disebabkan gempa itu terdengar seperti peasawat jet yang akan lepas landas. Sontak semua yang ada dirumah tempat kami tinggal berusaha untuk lari keluar rumah. Kalau aku tak salah ingat ada sekitar sembilan atau sepuluh orang semuanya.
Yang lain berlari menuju pintu depan sedangkan kau dan bang Muzakir, salah seorang teman sekerja lari kearah pintu belakang. Jujur, sampai sekarang aku belum mengerti juga kenapa pada saat kejadian itu aku masih dapat berpikir jernih. Saat aku melihat yang lain berlari ke pintu depan, langsung aku berpikir bahwa akan ada ‘antrian’ dipintu dan ada kemungkinan tidak semua akan bisa keluar dengan cepat. Pintu belakang juga berjarak lebih dekat daripada pintu depan karena memang pada saat getaran gempa itu terasa kebanyakkan dari kami sedang berada di ruang belakang. Jadilah aku berlari kearah pintu belakang sambil berteriak ke bang Muzakir untuk ikut berlari kearah pintu belakang.
Gempa itu terjadi sangat cepat kurang dari 15 detik tapi kejadiannya terasa sangat lama. Saat aku berlari ke pintu belakang, pertama aku berlari ke arah menara penampung air tapi aku sempat berpikir kalau menara dari kayu itu tumbang dengan bak berbobot berat bisa jadi peyek aku kalau ketimpa. Terus saat aku akan berlari ke pohon kelapa, terpikir juga bagaimana kalau kelapanya ada yang jatuh, kan lumayan kalau menimpa kepala. Jadilah dengan bersusah payah aku berlari kearah tiang jemuran baju. Bang Muzakir terus berlari keluar dari pintu gerbang belakang. Dia sempat berteriak memanggil-manggilku untuk iktu berlari kearahnya tapi aku takut kalau ada tsunami yang datang karena memang kalau kita keluar dari gerbang belakang rumah itu pasti akan langsung berada dipantai.
Pertama yang kulakukan adalah memeluk kuat tiang jemuran itu. Getaran gempanya terasa sangat kuat. Gerakan pertama yang kurasakan seakan bumi bergerak ke kiri dan ke kanan. Kemudian bumi seakan berputar melingkar dan dihentakkan keatas dan kebawah. Lumayan juga, kepalaku sempat terantuk-antuk ke tiang jemuran, untungnya gak sempat benjol.
Setelah getaran gempa itu mereda baru aku sadar bahwa begitu kami keluar dari pintu rumah, setengah dari bangunan rumah itu telah runtuh. Terdengar dari depan suara teman-teman yang telah keluar dari pintu depan memanggil-manggilaku dan bang Muzakir. Mungkin mereka mengira kalau kami berdua telah terkubur reruntuhan rumah karena mereka tidak melihat kami keluar bersama mereka. Sambil meraba jalan aku dan bang Muzakir mencari jalan diantara reruntuhan rumah denga takut-takut terpijak paku atau pecahan kayu karena saat berlari keluar rumah tak satupun diantara kami semua yang ingat untuk mencari alas kaki.
Begitu mencapai bagian depan rumah dan berkumpul kembali dengan teman-teman, kami berembuk untuk menentukan langkah berikutnya. Alhamdullillah, semuanya selamat. Bang Beni dan Roni memutuskan untuk pergi kearah pantai untuk melihat apakah air pantai surut. Jika air di pantai surut itu merupakan tanda kalau tsunami akan datang. Aku, Rizal, bang Muzakir dan Marieane, perawat berkebangsaan Perancis akan menunggu Bang Beni dan Roni dikaki bukit depan rumah dan jika air dipantai terlihat surut kami akan bergegas mengungsi keatas bukit. Aku awalnya ingin ikut dengan mereka ke pantai tapi mereka melarang dengan alasan kalau ada apa-apa sulit bagiku untuk lari karena badanku kegendutan. Teman-teman yang lain yang merupakan penduduk setempat kembali kerumah masing-masing untuk melihat keadaan keluarga mereka.
Mungkin ada ratusan orang yang berjubel dijalan setapak keatas bukit karena semua orang takut akan terjadi tsunami. Rizal dengan paniknya berusaha menarik Marieane untuk naik keatas bukit namun perawat Perancis itu menolak sebelum Bang Beni dan Roni kembali dari pantai. Rizal terlihat sangat panik dan gelisah, bang Muzakir cuma diam dengan pucat tapi terlihat dari matanya kalau dia sangat ketakutan. Bagaimana dengan kondisiku saat itu? Jujur aku merasa sangat lepas, mungkin karena pengaruh adrenalin. Orang yang sering melakukan olah raga ekstrim pasti akan paham bagaimana rasanya saat adrenalin kita dipacu. Jadi bawaannya mau ketawa terus.
Bang Beni dan Roni kembali dari pantai dan mereka tidak melihat kalau air dipantai surut, jadi kemungkinan besar tidak akan ada tsunami. Kami memutuskan untuk tidak mengungsi ke bbukit tapi pergi ke rumah yang satu lagi yang ditempati staff internasional MSF-Ch untuk melihat bagaiman kondisi disana. Sebagai staff lokal, keselamatan para expat tersebut menjadi sebagian dari tanggung jawab kami.
Namun sebelum kesana bang Muzakir memaksa untuk kembali kerumah untuk mengambil kopernya. Awalnya kami menolak tapi dia tetap memaksa. Mungkin banyak barang berharganya. Jadilah akhirnya sambil menggotong kopernya bang Muzakir berjalan mengikuti rombongan kecil kami dari belakang. Sesampai ke rumah para expat itu yang kami sebut dengan rumah biru karena memang dindingnya di cat biru langit, terlihat kalau rumah itu tidak mengalami kerusakan parah. Untuk sementara kami tinggal dirumah itu.
Ada yang agak lucu saat kami berjalan ke rumah biru. Ceritanya malam itu ada acara pernikahan tidak jauh dari rumah biru. Saat kami melewati tempat pesta itu terlihat kedua pengantinnya berdiri dipinggir jalan dengan masih menggunakan pakaian pengantin yang belum terkancing dengan benar. Mungkin baru mau malam pertama, malah terkena gempa. Gagallah acara malam pertamanya.
Tak lama teman-teman dari PMI datang dan meminta bantuan karena di wilayah kota banyak bangunan yang runtuh dan ada beberapa orang yang terkubur dibawah bangunan itu dan kebanyakan orang telah mengungsi ke bukit sehingga PMI kekurangan orang untuk mengevakuasi korban. Jadi kami ikut membantu untuk mencari korban yang tertimpa bangunan yang runtuh itu. Padahal aku cuma menggunakan sarung karena saat lari keluar dari rumah, aku lupa untuk memakai celana dan semua pakaianku saat itu telah terkubur dibawah reruntuhan rumah yang kami tempati. Untung pakai sempak, kalau tidak kan kasihan orang yang berada dibawahku saat memanjat reruntuhan itu, bisa lihat pemandangan yang bisa dianggap indah atau buruk!
Jujur aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantu orang-orang yang tertimbun reruntuhan itu karena memang aku tidak punya kemampuan yang memadai dalam bidang evakuasi dan kurangnya keberanian. Jadi setelah banyak yang datang membantu aku segera turun dan membiarkan mereka bekerja. Daripada malah jadi kerjaan untuk yang lain lebih baik aku mundur saja. Kalau tak salah total ada sekitar 23 orang yang menjadi korban di seluruh pulau Simeulue.
Mungkin malam itu merupakan malam yang terpanjang yang pernah kualami seumur hidupku.
Read More......